Thursday, February 12, 2009

PP 28 (Denda Administrasi)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2008


TENTANG


PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA
DI BIDANG KEPABEANAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a. bahwa dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan pengenaan
sanksi administrasi;

b. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang
Kepabeanan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4661);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENAAN SANKSI
ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG KEPABEANAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
3. Pejabat bea dan cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk
melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang.

Pasal 2

(1) Sanksi administrasi berupa denda dikenakan hanya terhadap
pelanggaran yang diatur dalam Undang-Undang.
(2) Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) besarnya dinyatakan dalam:
a.
nilai rupiah tertentu;
b. nilai rupiah minimum sampai dengan maksimum;
c.
persentase tertentu dari bea masuk yang seharusnya
dibayar;
d. persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum
dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar;
atau
e.
persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum
dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
Pasal 3

(1)
Besarnya denda yang dinyatakan dalam nilai rupiah tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
untuk Pasal 10A ayat (8), Pasal 11A ayat (6), Pasal 45 ayat (3),
Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 81 ayat (3), Pasal 82 ayat
(3) huruf b, Pasal 86 ayat (2), Pasal 89 ayat (4), Pasal 90 ayat
(4), dan Pasal 91 ayat (4) Undang-Undang.
Pasal 4

(1) Besarnya denda yang dinyatakan dalam nilai rupiah minimum
sampai dengan maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf b ditetapkan secara berjenjang dengan
ketentuan apabila dalam 6 (enam) bulan terakhir terjadi:
a.
1 (satu) kali pelanggaran, dikenai denda sebesar 1 (satu) kali
denda minimum;
b. 2 (dua) kali pelanggaran, dikenai denda sebesar 2 (dua) kali
denda minimum;
c.
3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) kali pelanggaran, dikenai
denda sebesar 5 (lima) kali denda minimum;
d. 5 (lima) sampai 6 (enam) kali pelanggaran, dikenai denda
sebesar 7 (tujuh) kali denda minimum;
e.
lebih dari 6 (enam) kali pelanggaran, dikenai denda sebesar 1
(satu) kali denda maksimum.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk
Pasal 7A ayat (7), Pasal 7A ayat (8), Pasal 8A ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 8C ayat (3) dan ayat (4), Pasal 9A ayat (3), dan
Pasal 10A ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang.

Pasal 5

(1)
Besarnya denda yang dinyatakan dalam persentase tertentu dari
bea masuk yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c diperoleh dari hasil perkalian
persentase tertentu dengan bea masuk yang seharusnya
dibayar.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk
Pasal 10B ayat (6), Pasal 10D ayat (5) dan ayat (6), Pasal 43 ayat
(3), dan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang.
Pasal 6

(1) Besarnya denda yang dinyatakan dalam persentase tertentu
minimum sampai dengan maksimum dari kekurangan
pembayaran bea masuk atau bea keluar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d ditetapkan secara berjenjang
berdasarkan perbandingan antara kekurangan pembayaran bea
masuk atau bea keluar dengan bea masuk atau bea keluar
yang telah dibayar dengan ketentuan apabila kekurangan
pembayaran bea masuk atau bea keluar:
a.
sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) dari bea masuk
atau bea keluar yang telah dibayar, dikenai denda sebesar
100% (seratus persen) dari kekurangan pembayaran bea
masuk atau bea keluar;
b. di atas 25% (dua puluh lima persen) sampai dengan 50%
(lima puluh persen) dari bea masuk atau bea keluar yang
telah dibayar, dikenai denda sebesar 200% (dua ratus
persen) dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea
keluar;
c.
di atas 50% (lima puluh persen) sampai dengan 75% (tujuh
puluh lima persen) dari bea masuk atau bea keluar yang
telah dibayar, dikenai denda sebesar 400% (empat ratus
persen) dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea
keluar;
d. di atas 75% (tujuh puluh lima persen) sampai dengan 100%
(seratus persen) dari bea masuk atau bea keluar yang telah
dibayar, dikenai denda sebesar 700% (tujuh ratus persen)
dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar;
atau
e.
di atas 100% (seratus persen) dari bea masuk atau bea
keluar yang telah dibayar, dikenai denda sebesar 1000%
(seribu persen) dari kekurangan pembayaran bea masuk
atau bea keluar.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk
Pasal 16 ayat (4), Pasal 17 ayat (4), Pasal 82 ayat (5) dan ayat
(6), dan Pasal 86A Undang-Undang.
Pasal 7

(1) Besarnya denda yang
dinyatakan dalam persentase minimum
sampai dengan maksimum dari bea masuk yang seharusnya
dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e
ditetapkan secara berjenjang berdasarkan perbandingan antara
bea masuk atas fasilitas yang disalahgunakan dengan total bea
masuk yang mendapat fasilitas dengan ketentuan apabila
kekurangan pembayaran bea masuk :

a.
sampai dengan 20% (dua puluh persen), dikenai denda
sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang
seharusnya dibayar;
b. di atas 20% (dua puluh persen) sampai dengan 40% (empat
puluh persen), dikenai denda sebesar 200% (dua ratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar;
c.
di atas 40% (empat puluh persen) sampai dengan 60% (enam
puluh persen), dikenai denda sebesar 300% (tiga ratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar;
d. di atas 60% (enam puluh persen) sampai dengan 80%
(delapan puluh persen), dikenai denda sebesar 400% (empat
ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar; atau
e.
di atas 80% (delapan puluh persen) sampai dengan 100%
(seratus persen), dikenai denda sebesar 500% (lima ratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk
Pasal 25 ayat (4) dan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang.
Pasal 8

Terhadap pelanggaran yang dikenai sanksi administrasi berupa
denda yang dihitung berdasarkan persentase dari bea masuk, dalam
hal tarif atau tarif akhir bea masuk atas barang yang berkaitan
dengan pelanggaran tersebut besarnya 0% (nol persen), dikenai
sanksi adminstrasi berupa denda sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).

Pasal 9

Terhadap pelanggaran yang ditemukan berdasarkan hasil audit
yang dikenai denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A ayat
(8), Pasal 11A ayat (6), Pasal 45 ayat (3), Pasal 52 ayat (1) dan ayat

(2) Undang-Undang, dikenai denda 1 (satu) kali.
Pasal 10

Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan dalam bentuk surat
penetapan.

Pasal 11

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi
Administrasi Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3627), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 12
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 April 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 April 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 53


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2008


TENTANG


PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA
DI BIDANG KEPABEANAN


I. UMUM
Dalam praktik kepabeanan internasional dewasa ini, penanganan atas
pelanggaran ketentuan kepabeanan lebih dititikberatkan pada penyelesaian
secara fiskal yaitu berupa pembayaran sejumlah uang kepada negara dalam
bentuk denda. Hal ini merupakan pengaruh era globalisasi yang menuntut
kecepatan dan kelancaran arus barang bagi kemajuan perdagangan
internasional. Oleh karena itu, peraturan Kepabeanan diharapkan tidak menjadi
penghalang bagi perkembangan perdagangan tersebut. Dalam Undang-Undang
Kepabeanan yang merupakan bagian dari hukum fiskal, beberapa ketentuan
yang diatur didalamnya telah diselaraskan dengan praktik kepabeanan
internasional yang didasarkan pada persetujuan dan konvensi internasional di
bidang kepabeanan dan perdagangan, antara lain ketentuan yang menyatakan
bahwa penyelesaian pelanggaran yang tidak bersifat serius dapat diselesaikan
dengan pengenaan sanksi administrasi.

Undang-Undang Kepabeanan pada dasarnya menganut asas menghitung dan
menyetor sendiri bea masuk atau bea keluar yang terhutang oleh importir atau
eksportir (self-assesment). Sistem self assesment memberikan kepercayaan yang
besar kepada para pengguna jasa kepabeanan. Namun, kepercayaan tersebut
harus diimbangi dengan tanggung jawab, kejujuran, dan kepatuhan dalam
pemenuhan ketentuan undang-undang yang berlaku. Dalam hal pengguna jasa
kepabeanan dalam rangka pemenuhan kewajiban kepabeanan melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Kepabeanan, maka diatur pengenaan sanksi administrasi bagi mereka yang
melakukan pelanggaran tersebut.

Sanksi administrasi ditujukan untuk memulihkan hak negara dan untuk
menjamin ditaatinya aturan yang secara tegas telah diatur dalam ketentuan
Undang-Undang, dengan demikian sanksi adminisitrasi tersebut harus
merupakan sarana fiskal yang dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Karena sanksi administrasi merupakan kewajiban yang dapat memberatkan
mereka yang terkena, maka penerapannya harus memenuhi kriteria yang
transparan agar dapat dicegah terjadinya ketidakpastian dalam menetapkan
sanksi dimaksud. Untuk kepraktisan penyelenggaraannya, kewenangan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai untuk menetapkan sanksi administrasi dapat
dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pabean atas nama Direktur Jenderal Bea dan
Cukai.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.



Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.


Huruf b
Pengenaan denda minimum sampai dengan maksimum
menganut asas proporsionalitas, yaitu bahwa besar kecilnya
denda yang dikenai dipengaruhi oleh berat ringannya
pelanggaran yang dilakukan oleh si pelanggar.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.


Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)
Ketentuan tentang cara penetapan denda atas pelanggaran Undang-
Undang yang dikenai sanksi administrasi dalam bentuk denda
minimum sampai dengan maksimum yang besarnya dinyatakan dalam
nilai rupiah, contohnya:
Pada tanggal 15 Juli, pengangkut barang impor melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (2) Undang-
Undang, yaitu jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang
diberitahukan dalam pemberitahuan pabean, sehingga berdasarkan
Undang-Undang dikenai sanksi administrasi berupa denda paling
sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Untuk mengenakan sanksi administrasi berupa denda terhadap
pengangkut tersebut di atas terlebih dahulu harus dilihat jumlah
pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut tersebut dalam kurun
waktu 6 (enam) bulan terakhir dihitung sejak tanggal terjadinya
pelanggaran terakhir di satu Kantor Pabean tempat dilakukan
pemenuhan kewajiban pabean. Dalam kasus ini, kurun waktu 6
(enam) bulan terakhir adalah waktu antara 16 Januari sampai dengan
15 Juli. Apabila dalam kurun waktu tersebut, pengangkut misalnya
melakukan 3 (tiga) kali pelanggaran, maka dikenai denda 5 (lima) kali
dari denda minimum, yaitu sebesar Rp 125.000.000,00 (seratus dua
puluh lima juta rupiah).

Ayat (2)
Cukup jelas.


Pasal 5

Ayat (1)
Dalam pelaksanaan pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas
pelanggaran terhadap Pasal 10D ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang,
yaitu impor sementara yang mendapat keringanan bea masuk, maka


besarnya denda dihitung berdasarkan bea masuk yang seharusnya
dibayar atas barang yang disalahgunakan, contohnya:
Dalam pemberitahuan pabean atas impor barang, tarif bea masuk
sebesar 10% (sepuluh persen) dan nilai pabean sebesar Rp
l0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Atas barang tersebut mendapat
keringanan bea masuk dalam rangka impor sementara sehingga harus
membayar bea masuk 2% (dua persen) perbulan dari bea masuk yang
seharusnya dibayar, dengan jangka waktu impor sementara 1 (satu)
tahun (dua belas bulan).
Importir melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10D ayat (5) Undang-Undang, yaitu terlambat mengekspor kembali
barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan, sehingga
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 % (seratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
Atas importasi tersebut importir dikenai pembayaran bea masuk per
bulan sebesar 2% x Rp 1.000.000,00 = Rp. 20.000,00 (dua puluh ribu
rupiah), sehingga dalam 1 (satu) tahun importir membayar Rp
20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) x 12 = Rp 240.000,00 (dua ratus
empat puluh ribu rupiah).
Bea masuk yang seharusnya dibayar apabila importir tidak mendapat
keringanan bea masuk adalah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
sehingga atas pelanggaran terhadap impor sementara tersebut dikenai
denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya
dibayar yaitu sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Ayat (2)
Cukup jelas.


Pasal 6
Ayat (1)
Ketentuan tentang cara penetapan denda atas pelanggaran Undang-
Undang yang dikenai sanksi administrasi dalam bentuk denda
minimum sampai dengan maksimum yang besarnya dinyatakan dalam
persentase tertentu dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea
keluar, contohnya:
Dalam pemberitahuan pabean atas impor barang, importir membayar
bea masuk atas barang yang diimpornya sebesar Rp l.000.000,00 (satu
juta rupiah) berdasarkan tarif bea masuk sebesar 10% (sepuluh persen)
dan nilai pabean atas barang impor tersebut sebesar Rp l0.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
Dari hasil penelitian Pejabat Bea dan Cukai ternyata nilai transaksi
dari barang bersangkutan adalah sebesar Rp 12.500.000,00 (dua belas
juta lima ratus ribu rupiah) sehingga bea masuk yang seharusnya
dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima
puluh ribu rupiah) sehingga importir kurang membayar bea masuk
sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau sebesar
25% (dua puluh lima persen) dari bea masuk yang telah dibayar atau
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dibagi Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (4) Undang-
Undang, atas kesalahan memberitahukan nilai pabean yang
mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk importir dikenai
sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen)
dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu
persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.


Dalam kasus di atas kekurangan pembayaran bea masuk adalah
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari bea masuk yang telah
dibayar sehingga sanksi administrasi berupa denda yang dikenai
terhadap importir adalah l00% (seratus persen) dari kekurangan
pembayaran bea masuk yaitu sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah).

Ayat (2)
Cukup jelas.


Pasal 7

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Bea Masuk Yang Seharusnya Dibayar"
(BMSDB) adalah jumlah bea masuk yang dibebaskan atau diberikan
keringanan.
Contoh :
Dalam pemberitahuan pabean atas impor barang, importir mengimpor
15 (lima belas) unit barang "Z" dengan harga CIF USD 20,00 per unit.
Terhadap barang "Z" tersebut dikenai bea masuk sebesar 15% (lima
belas persen). Importir mengajukan permohonan keringanan bea
masuk dan mendapatkan keringanan bea masuk sehingga tarif akhir
menjadi 5% (lima persen). Dari hasil penelitian Pejabat Bea dan Cukai
ternyata importir memperjualbelikan 5 (lima) unit barang "Z" tersebut.
Pada saat importasi, nilai dasar perhitungan bea masuk (NDPBM) USD
1,00 = Rp 10.000,00. Adapun perhitungan sanksi administrasi berupa
denda adalah sebagai berikut :
Impor 15 unit @ CIF USD 20,00 = CIF USD 300,00
NDPBM USD 1,00 = Rp 10.000,00
Nilai pabean = 15 x USD 20,00 x Rp 10.000,00 = Rp 3.000.000,00
BM tanpa fasilitas = 15% x Rp 3.000.000,00 = Rp 450.000,00
BM mendapat fasilitas keringanan menjadi 5% = 5% x Rp 3.000.000,00
= Rp 150.000,00
Total BM yg mendapat fasilitas keringanan BM = Rp 450.000,00 –
Rp 150.000,00 = Rp 300.000,00

Terjadi penyalahgunaan 5 unit @ CIF USD 20,00 = CIF USD 100 =
Rp 1.000.000,00
BM tanpa fasilitas = 15% x Rp 1.000.000,00 = Rp 150.000,00
BM mendapat fasilitas keringanan menjadi 5% = 5% x Rp
1.000.000,00 = Rp 50.000,00
Total BM yg mendapat fasilitas keringanan BM = Rp 150.000,00 – Rp
50.000,00 = Rp 100.000,00

Perhitungan Interval Denda (PID) :

BM fasilitas yg disalahgunakan x 100% = X
Total BM yg mendapat fasilitas

PID = 100.000 x 100% = 33,33%

300.000
Perhitungan denda :

PID berada pada kisaran di atas 20% s.d. 40% sehingga dikenai denda
sebesar 200% dari BMSDB.


Denda = 200% x BMSDB

= 200% x Rp 100.000,00 = Rp 200.000,00

Jadi importir dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp
200.000,00. (dua ratus ribu rupiah)

Pasal 8
Terhadap pelanggaran yang timbul akibat tidak dipenuhinya ketentuan
dalam Undang-Undang dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda.
Dalam hal denda yang dasar perhitungannya adalah persentase kekurangan
bea masuk, ternyata bea masuk atas barang yang dilakukan pelanggaran
tersebut tarif atau tarif akhirnya 0% (nol persen), maka sanksi yang
dijatuhkan tidak lagi bersifat proposional, tetapi didasarkan pada satuan
jumlah dalam rupiah yaitu sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Kekurangan bayar yang mengakibatkan denda terhadap barang yang
pembebanannya 0% (nol persen) hanya dikenai 1 (satu) kali untuk 1 (satu)
pemberitahuan pabean atas impor barang, sepanjang pada pemberitahuan
pabean atas impor barang tersebut tidak ada barang impor lain yang harus
dikenai denda. Dalam hal pada pemberitahuan pabean atas impor barang
tersebut ada barang impor lain yang harus dikenai denda, maka besarnya
denda dihitung berdasarkan denda untuk barang impor lainnya tersebut.

Pasal 9

Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A ayat
(8), Pasal 11A ayat (6), Pasal 45 ayat (3), Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang, yang ditemukan pada saat audit, dikenai denda 1 (satu) kali
pada saat ditemukan pelanggaran, misalnya dalam 1 (satu) kali audit
ditemukan lebih dari 1 (satu) kali pelanggaran yang sama, maka sanksi yang
dikenai dihitung sebagai 1 (satu) pelanggaran.

Pasal 10
Pengenaan sanksi administrasi harus ditetapkan dengan surat penetapan
untuk memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang dikenai sanksi administrasi,
agar yang bersangkutan mengetahui secara jelas ketentuan yang
dilanggarnya. Apabila yang bersangkutan keberatan atas pengenaan sanksi
administrasi dimaksud, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan
kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang tatacaranya dilaksanakan
sesuai dengan Undang-Undang.

Pasal 11
Cukup jelas.


Pasal 12
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4838




No comments:

Post a Comment